Persekongkolan informasi: Politisi membentuk komunitas yang memecah belah secara online

KREDIT GAMBAR:
Gambar kredit
iStock

Persekongkolan informasi: Politisi membentuk komunitas yang memecah belah secara online

Persekongkolan informasi: Politisi membentuk komunitas yang memecah belah secara online

Teks subjudul
Strategi politik ini mengancam demokrasi karena partai-partai politik berlomba-lomba mendistorsi persepsi dan pengambilan keputusan pemilih.
    • Penulis:
    • nama penulis
      Pandangan ke Depan Quantumrun
    • Oktober 24, 2022

    Ringkasan wawasan

    Dengan meningkatnya penggunaan media sosial, pandangan politik menjadi lebih memecah belah dan agresif. Banyak orang tampaknya ada dalam gelembung partisan, secara fisik dan online. Keberpihakan ini didorong oleh partai politik untuk membuat pemilihnya buta terhadap pandangan dan kebijakan oposisi.

    Konteks persekongkolan informasi

    Secara tradisional, persekongkolan memanipulasi batas-batas daerah pemilihan untuk memberikan keuntungan yang tidak adil kepada partai politik, kelompok, atau kelas sosial konstituen. Praktik ini sering dilakukan melalui pemekaran atau pengalokasian kembali penduduk per kabupaten. Di AS, lingkungan yang terpisah dan pola pemungutan suara rasial menunjukkan bahwa partai-partai memperoleh keuntungan selama pemekaran dengan menargetkan komunitas kulit berwarna. 

    Gerrymandering adalah praktik lama, tetapi dengan algoritme komputer dan kemajuan kecerdasan buatan (AI), peta laci dapat melakukan redistricting dengan presisi yang lebih baik, menargetkan demografi pemilih yang terdefinisi dengan baik.

    Selain persekongkolan lokasi, paparan online juga mempengaruhi subjektivitas pemilih. Para peneliti menyebut informasi ini sebagai gerrymandering. Pada tahun 2019, Massachusetts Institute of Technology (MIT) melakukan penelitian yang menempatkan peserta dalam simulasi pemilu yang digamifikasi. Tim peneliti menemukan bahwa jaringan komunikasi (seperti media sosial) dapat mendistorsi rencana orang lain untuk memilih dan meningkatkan kemungkinan kebuntuan pemilu atau bias secara keseluruhan.

    Para peneliti juga menciptakan bot online, yang mencakup sekitar 20 persen dari total partisipan, untuk mendukung satu pihak saja, yang oleh para peneliti disebut sebagai “fanatik.” Lebih dari 2,500 relawan berpartisipasi dalam penelitian ini dengan memainkan “permainan pemilih” dalam kondisi yang berbeda. Setelah melakukan penelitian selama berbulan-bulan, para peneliti menemukan bahwa hasil pemilu mungkin sangat dipengaruhi oleh bagaimana informasi pemilu disebarkan ke seluruh jaringan dan oleh aktivitas para fanatik.

    Dampak yang mengganggu

    Akses terhadap beragam sumber informasi sangat penting untuk pengambilan keputusan yang tepat dalam proses demokrasi. Namun, tantangan muncul ketika jaringan sosial membatasi aliran informasi atau ketika informasi didistorsi oleh individu yang bias dan bot otomatis. Sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengidentifikasi sebuah fenomena yang disebut persekongkolan informasi (information gerrymandering), dimana bahkan tanpa adanya informasi palsu, distribusi informasi dapat secara signifikan mengganggu pengambilan keputusan kelompok. Fenomena ini dapat menciptakan bias pemilu hingga 20 persen, yang mengarah pada situasi di mana kelompok yang seharusnya terpecah 50-50 bisa saja terpecah 60-40 karena distribusi informasi yang tidak merata.

    Para peneliti MIT memeriksa data mengenai rancangan undang-undang yang disponsori bersama di Kongres AS dan badan legislatif Eropa, serta jaringan pengguna di platform media sosial. Mereka menemukan bukti adanya manipulasi informasi yang disengaja untuk menguntungkan kelompok tertentu. Manipulasi ini terlihat jelas dalam analisis rancangan undang-undang co-sponsorship di AS pada tahun 1973 hingga 2007, di mana pada awalnya Partai Demokrat mempunyai pengaruh lebih besar. Namun, dengan kendali Partai Republik di Kongres pada tahun 1994, pengaruh mereka seimbang dengan pengaruh Partai Demokrat. Pola polarisasi serupa juga diamati di enam dari delapan parlemen Eropa yang dilibatkan dalam penelitian ini.

    Temuan penelitian ini menyoroti perlunya mencari informasi dari berbagai sumber untuk membentuk pandangan menyeluruh, khususnya dalam pengambilan keputusan politik. Perusahaan, terutama yang bergerak di bidang teknologi informasi dan media sosial, mungkin perlu menilai kembali algoritma dan kebijakan mereka untuk mencegah penyelewengan informasi. Sementara itu, pemerintah mungkin perlu mengembangkan peraturan dan pedoman untuk memastikan distribusi informasi yang adil, terutama di lingkungan yang sensitif secara politik. 

    Implikasi dari persekongkolan informasi

    Implikasi yang lebih luas dari persekongkolan informasi dapat mencakup: 

    • Peningkatan penggunaan teknologi pengawasan publik yang lebih halus untuk mengumpulkan informasi tentang pemilih, seperti pengenalan pemindaian wajah dan aktivitas online.
    • Kelompok riset komunitas mengumpulkan dan memberikan informasi yang tidak bias kepada komunitas mereka tentang kandidat, kebijakan, dan banyak lagi. 
    • Peningkatan penggunaan bot fanatik dan peternakan troll untuk membanjiri media sosial dengan cita-cita ekstremis, yang dapat mengakibatkan kekerasan di dunia nyata. 
    • Lebih banyak kampanye propaganda komputasional dari partai politik untuk mempromosikan cita-cita partisan dan menyebarkan informasi palsu melawan oposisi.
    • AI semakin mengidentifikasi warga negara yang cenderung memilih partai politik tertentu atau mendukung undang-undang tertentu.
    • Komunitas yang lebih rentan menjadi sasaran manipulasi atau penindasan pemilih.

    Pertanyaan untuk dipertimbangkan

    • Apa saja contoh persekongkolan informasi yang Anda temui?
    • Bagaimana lagi persekongkolan informasi dapat mempengaruhi komunitas lokal?

    Referensi wawasan

    Tautan populer dan institusional berikut dirujuk untuk wawasan ini:

    Pusat Brennan untuk Keadilan Gerrymandering Dijelaskan